Jumat, 16 Agustus 2013

BENARKAH VIRUS INKARUSSUNNAH ?

BENARKAH VIRUS INKARUSSUNNAH
Dari
AHMAD HARIADI?


Kalau kata “As-Sunnah” di situ maksudnya adalah “hadis Nabi saw. yang menceritakan perilaku Nabi saw. di dalam mengamalkan ajaran Alquran, maka amat keliru sekali jika saudaraku dari PERSIS itu menyimpulkan bahwa, “Ahmad Hariadi menolak sunnah Nabi saw. dan sudah tertular virus inkarussunnah”. Tetapi sebaliknya, jika ada suatu hadis-hadisan (hadis palsu) yang menceritakan perilaku Nabi saw. padahal yang sebenarnya bukan perilaku/sunnah Nabi saw. karena memang bertentangan dengan Alquran, maka benarlah kalau Ahmad Hariadi disimpulkan “sebagai seseorang yang menolak hadis-hadisan yang seperti itu atau inkarussunnah”. Walaupun hadis-hadis itu dimuat di dalam berbagai kitab hadis yang masyhur/kutubus-sittah, seperti kitab hadis sahih Buchori, sahih Muslim, dan lain-lain.
Kalau seseorang mengingkari atau menolak satu dua hadis yang ada dalam berbagai kitab hadis yang masyhur itu disimpulkan, “sebagai inkarussunnah”, maka berapa banyak seseorang atau ulama Muslim yang mendapat julukan seperti itu, baik ulama tersebut dari kalangan Sunni atau syi`i/syiah. Padahal ulama tersebut setelah menyelidiki hadis-hadis itu berkesimpulan bahwa, hadis-hadis tersebut “bukan hadis Nabi” alias “bukan perbuatan/qoul Nabi, bukan ketetapan/taqrir Nabi, atau bukan sunnah/perilaku Nabi”. Karena memang menurut mereka hadis-hadis yang ditolaknya itu bertentangan dengan Alquran, bertentangan dengan akal yang sehat, atau bertentangan dengan fakta sejarah yang qot`i/pasti.
Dan akhirnya A. Hassan (rahimahullah) selaku pendiri PERSIS juga akan digolongkan “sebagai inkarusunnah” karena beliau yang sangat kami hormati itu juga mengatakan, “di dalam kitab Sahih Bukhori dan Sahih Muslim itu masih ada terdapat hadis-hadis yang bertentangan dengan Alquran. Baiklah di sini dicantumkan secara lengkap ketetapan A. Hassan itu di dalam soal jawab tentang kedudukan hadis-hadis Sahih Bukhori Muslim:
SOAL     : Apa sebab Hadiets yang diriwayatkan oleh Bukharie dan Muslim
      itu shahieh ?


JAWAB : Karena Bukharie dan Muslim terlalu cermat tentang menerima Hadiets dari seseorang, ya’ni tiap-tiap seorang rawinya hingga sampai kepada Nabi s.a.w. itu orang-orang yang sudah terpilih betul tentang kebenarannya, amanatnya, ibadatnya, akhlaqnya, dan lain-lainnya.


    Bacalah permulaan ,,Muqaddimah-Fathul-Baari” dan permulaan ,,Syarah-Muslim-Lin Nawawie”. Pendeknya tidak ada seorang ahli Hadietspun yang cermat dan hati-hati untuk menerima Hadiets dengan memperhatikan rawi-rawinya, lebih daripada imam Bukharie. Yang kedua dari Bukharie, ialah muridnya, yaitu imam Muslim. Sungguhpun begitu, tetapi masih ada juga di dalam kedua-dua kitab yang tersebut, beberapa Hadiets yang lemah atau ada ikhtilaafnya tentang shahnya dan ada pula beberapa Hadiets yang berlawanan dengan Qur’an (ditulis lengkap sesuai dengan aslinya – pen.)
                                            A.H.


Hal tersebut dapat dilihat dalam buku Soal-Jawab A. Hassan jilid 2 bab “HADIETS RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM” halaman 695, penerbit C.V. DIPONEGORO, BANDUNG.
   
Tentang hadis-hadis Sahih Bukhori dan Sahih Muslim yang ditolak A. Hassan itu banyak sekali. Hal ini bisa dilihat di dalam buku Soal-Jawab A. Hassan jilid 4 bab “Sedaqoh Anak Untuk Orangtua” halaman 1499 s/d. 1501.
    Terhadap hadis-hadis itu, A. Hassan mengatakan, Hadits-hadits yang tersebut tadi, sungguhpun shahih menurut riwayat, tetapi lantaran perlawanan dengan beberapa ayat Qur’an yang dikuatkan oleh beberapa hadits, perkataan shahabat, dan perkataan iman-iman, dan berlawanan pula dengan maksud agama, dan berlawanan juga dengan fikiran yang waras seperti yang tersebut di bawah ini satu per satunya, maka tak dapatlah dikatakan hadits-hadits itu shahih isinya.
    Menurut qa’idah ilmu hadits, bahwa Hadits yang boleh dikatakan shahih dan boleh diamalkan itu, ialah Hadits-hadits yang shahih menurut riwayat dan shahih pada maknanya, yaitu tidak berlawanan dengan ayat Qur’an dan tidak juga berlawanan dengan Hadits yang lebih kuat dari padanya.
   
Di halaman selanjutnya itu, A. Hassan menerangkan alasan-alasannya.... Mohon diteliti sendiri!
    Oleh karena itu kalau Ahmad Hariadi mengatakan bahwa “hadis-hadis akan turunnya Isa di akhir zaman yang ada di dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih  Muslim itu bukan sabda Nabi alias hadis-hadisan, maka saudaraku tercinta dari PERSIS itu mestinya yang harus dia lakukan adalah menanggapi “alasan-alasan yang saya kemukakan di Daurah Du’at PP PERSIS” itu. Yang mana alasan-alasan atau hujjah-hujjah saya itu juga ada di dalam Makalah yang diberikan kepada setiap peserta Daurah.
    Karena hal itu tidak dilakukan oleh saudaraku tercinta yang penuh semangat itu, maka di dalam menjawab tulisan dia yang ada di majalah Risalah edisi Nopember 2008 yang berjudul “Virus Inkarussunnah dari Ahmad Hariadi” itu, maka saya merasa perlu di sini mengemukakan pendapat-pendapat dari pendiri PERSIS itu sendiri dengan harapan, mudah-mudahan menjadi bahan masukan bagi saudaraku khususnya dan umumnya bagi para pembaca majalah Risalah. Sehingga dengan perantaraannya, seseorang tidak mudah menuduh orang lain sebagai “inkarussunnah”. Amin!
Di samping itu, untuk melengkapi hujjah-hujjah saya di dalam soal penolakan saya terhadap hadis-hadisan akan turunnya Isa as. yang ada dalam kitab hadis Sahih Bukhari dan Sahih Muslim itu, maka di sini perlu saya kemukakan qoul jadid A. Hassan, di mana dia yang sangat saya hormati itu mengatakan:
... tetapi ada satu jalan buat orang yang tidak mau percaya hal turunya Nabi ‘Iesaa, yaitu menolak sekalian Hadiets-hadiets yang mengatakan ‘Iesaa akan turun dengan alasan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :
ثَلاَثُةُ كُتُبٍ لَيْسَ لَهَا اَصْلٌ : الْمَغَازِيْ وَ الْمَلاَحِمُ وَالتَّفْسِيْرُ.
                (اسنى المطالب        وتذكرة الموضوعات      )
Artinya : Tiga kitab tidak ada asal baginya : Dari hal perang-perang, dan kejadian-kejadian yang akan datang, dan tafsir.
    Ya’ni tidak ada kitab hadiets yang shahieh tentang cerita-cerita peperangan dan tentang kejadian-kejadian yang di tunggu-tunggu dan tentang tafsir.
    Siapa yang berani berpegang dengan perkataan Imam Ahmad yang sudah memeriksa hadiest-hadiest itu, tentulah bisa ia tolak sekalian hadiest-hadiest turunnya ‘Iesaa.
    Kalau sudah ia tolak berarti tidak ada lagi ‘Iesaa yang akan datang, maupun ‘Iesaa betul-betul atau ‘Iesaa-‘Iesaaan dan diwaktu itu, bolehlah ia ta’wiel ayat yang mengatakan Allah telah angkat ‘Iesaa ke HadiratNya, dan dengan jalan itu, dapatlah ia berkata : Nabi ‘Iesaa sudah mati dan tidak seorangpun Nabi yang sedang hidup sekarang, (kitab Soal-Jawab A. Hassan jilid 3 halaman 1162, ditulis sesuai aslinya).   
Di dalam tulisan saudaraku itu, dia telah menanggapi Keterangan no.170 dari tafsir Alquran (Yassarnal-Qur’an) yang saya tulis yang ada di halaman 115 s/d. 116 yang secara utuhnya berbunyi:
Keterangan No. 170:   
Dalam surat 3 ayat 32 ini, kita disuruh mematuhi Allah dan mematuhi Rasul-Nya, maksudnya adalah “mematuhi terhadap ketetapan-ketetapan Allah yang ada dalam Alquran dan mematuhi terhadap jejak-jejak Rasulullah saw. di dalam mengamalkan risalah Alquran.” Kalau mengenai ketetapan-ketetapan yang ada dalam Alquran itu sudah jelas ayat-ayatnya berasal dari Allah. Tetapi walaupun begitu, maksud ayat-ayat tersebut masih bisa disalah-pahami oleh masing-masing orang karena latar belakang ini dan itu. Dan untuk mengatasi hal tersebut dalam rangka mencari pemahaman yang benar, masing-masing dari Kaum Muslimin harus berlapang dada dan berkewajiban untuk menyampaikan argumen-argumennya secara santun lagi qur’ani yang dapat mendukung terhadap pemahaman masing-masing yang dianggap dan diyakininya sebagai “pemahaman yang benar’.
    Sedangkan mengenai jejak-jejak Rasulullah saw., apakah dia berbentuk ucapannya, perbuatannya, ataupun ketetapannya, maka hal itu akan lebih sulit lagi untuk dapat mendeteksinya, apakah benar hal yang dibilangkan berasal dari Rasulullah saw. itu benar-benar ucapannya, benar-benar perbuatannya dan benar-benar ketetapannya? Karena ketiga hal tersebut kebanyakannya tidak ditulis atau tidak dicatat di zaman Rasulullah saw. atau dengan kata lain ketiga hal tersebut ditulis dan dicatat sekitar dua abad, bahkan ada yang tiga abad, bahkan lagi ada yang lebih dari tiga abad setelah Rasulullah saw. wafat. Hal itu berdasarkan laporan dari si A, dan si A dapat dari si B, dan si B dapat dari si C, dan si C dapat dari si D, dan si D dapat dari si E, dan si E dapat dari sahabat, kemudian dari Rasulullah saw. yang kemudian lagi dikatakan, Rasulullah saw. mengatakan ini dan itu, berbuat ini dan itu dan menetapkan ini dan itu. Jadi, ketiga hal tersebut yang konon dikatakan sebagai hadis atau sunah Rasul itu didapat melalui laporan dari seseorang ke seseorang di dalam masa sekitar lima generasi. Oleh karena itu, amat sulitlah untuk dapat mendeteksi bahwa ketiga hal tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw.. Tetapi walaupun begitu, ada cara yang sangat mudah untuk dapat mendeteksinya, yakni dengan memakai alat Alquran yang di dalam surat Yasin ayat 2, dikatakan, Alquran itu sebagai “sesuatu yang dapat memutuskan/menghakimi,” yakni memutuskan apa saja secara benar, termasuk memutuskan “apakah benar yang dikatakan hadis ini dan hadis itu, itu adalah benar-benar ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah saw.?” Kalau memang hal itu benar-benar berasal dari Rasulullah saw., maka kita pun wajib mengikutinya, karena pada waktu itu berarti kita mengikuti Alquran. Karena bagaimanapun ucapan, perbuatan dan ketetapan-ketetapan Rasulullah saw. itu adalah merupakan manifestasi dari pengamalan Alquran itu sendiri, sehingga karenanya telah disebutkan bahwa “akhlak-akhlak/jejak-jejak Rasulullah saw. itu adalah Alquran.” Jadi, kalau ada sesuatu yang konon dikatakan sebagai hadis atau sunah Rasul, tetapi isi dan jiwanya bertentangan dengan isi dan jiwa Alquran, maka hal tersebut jelas bukan hadis atau sunah Rasul atau dengan kata lain hadis dan sunah Rasul yang sengaja dibikin-bikin/hadis Maudhuu`. Sehingga amat bijaksanalah para ahli ilmu hadis yang mengatakan, “syarat pokok hadis shoheh itu adalah isi dan jiwanya tidak boleh bertentangan dengan Alquran.” Oleh karena itu, masing-masing kita dari Kaum Muslimin hendaklah sangat berhati-hati terhadap hadis-hadis yang ada dalam berbagai kitab hadis, hendaklah kita menggunakan Alquran sebagai alat untuk dapat menyeleksi, mana hadis-hadis yang benar dari Rasulullah saw. dan mana-mana yang bukan. Untuk mengetahui hal itu, janganlah kita hanya menggunakan alat-alat yang dibikin oleh manusia yang pengetahuannya sangat relatif dan tidak mengetahui yang gaib itu, yakni dengan jalan menggunakan alat yang dengan alat mana konon dapat diketahui bahwa si A, si B, si C, dan seterusnya yang meriwayatkan hadis-hadis itu adalah orang-orang yang terpercaya, orang-orang yang takwa, orang-orang yang kuat hafalannya, dan lain-lain. Sehingga dengan perantaraannya, hadis-hadis yang konon diriwayatkan oleh mereka-mereka itu dianggap dan diyakini sebagai “hadis saheh”. Padahal untuk mengetahui orang-orang tersebut yang hidupnya jauh ratusan tahun bahkan seribu tahun sebelum kita, apakah orang-orang itu bertakwa atau tidak, terpercaya atau tidak? Semuanya itu bukan urusan dan tanggung jawab kita, karena masalah itu adalah masalah hati seseorang dan hanya Allah yang dapat mengetahuinya. Di samping itu, bahwa orang yang sejujur apa pun, pasti akan pernah melakukan kesalahan yang tidak disengaja, sehingga ada doa “Ya Allah, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan yang tidak disengaja.”
    Dan di samping itu juga, bahwa orang-orang yang konon meriwayatkan hadis-hadis itu, baik si A, si B, si C, dan seterusnya itu, dapat saja terjadi bahwa bukan mereka yang meriwayatkannya, tetapi orang lain yang sengaja mengada-adakan riwayat hadis dengan dikatakan, yang meriwayatkannya itu adalah mereka, karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu. Hal yang seperti ini sangat mungkin terjadi sebagaimana sangat mungkin terjadinya hal tersebut dengan mengatasnamakan pada diri Rasulullah saw. Sehingga beliau bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan dusta atas namaku, maka hendaklah dia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya dari api/akan sengsara” (hadis Mutaawatir). Maksudnya adalah akan banyak orang yang memakai nama beliau, sehingga beliau dikatakan mengatakan dan berbuat ini dan itu, padahal beliau saw. tidak pernah mengatakan dan memperbuatnya. Bagi mereka yang melakukan kedustaan seperti ini diancam oleh Rasulullah saw. dengan ancaman yang sangat keras. Jadi, sekali lagi, hati-hatilah terhadap hadis-hadis palsu/Maudhuu’ yang ada dalam berbagai kitab hadis, karena dia adalah merupakan berhala yang apabila kita ikuti/sembah, dia dapat mengakibatkan hal-hal yang buruk yang akan menimpa umat Islam ini. “dampak-dampak buruk yang ditimbulkan oleh hadis-hadis palsu” itu dipakai judul oleh Muhammad Naashiruddiin al Albanii di dalam kitabnya yang berjudul lengkap;
سِلْسِــلَةُ الْأَحَادِيْــثِ الضَّــعِيْفَةِ وَالْمَوْضُــوْعَةِ وَأَثَرُهَــا السَّــيِّئُ فِـي الْأُمَّــةِ
Di dalam menanggapi tulisan saya yang ada dalam Keterangan no.170 itu, saudaraku yang tercinta dari PERSIS yang berinisial NS itu menanggapinya dengan tanggapan yang tidak proporsional dan jauh dari inti masalah. Dikatakan demikian karena dia tidak menanggapi berbagai inti masalah yang ada dalam tulisan saya itu. Padahal seharusnya menurut Alquran, dia harus menanggapinya satu-per satu masalah yang dianggap keliru olehnya yang ada dalam tulisan saya itu dengan mengemukakan hujjah-hujjah naqli dan aqli, sehingga dengan perantaraannya, hal-hal yang keliru yang ada dalam tulisan saya itu dapat terdeteksi kekeliruannya. Cara yang ditunjukkan oleh Alquran dalam surat 17 ayat 81 itu tujuannya adalah “untuk mencerdaskan kedua belah pihak, karena memang kedua belah pihak itu masing-masingnya saling mau memberi dan saling menerima”. Untuk lebih jelasnya hal tersebut, dapat dilihat dalam tafsir “Yassarnal-Qur`an”, surat 17 ayat 81 dengan Keterangan no.593.
Di dalam menanggapi tulisan saya itu, saudaraku tercinta dari PERSIS yang berinisial NS itu tidak melakukan hal mulia yang dianjurkan oleh Allah dalam Kitab Suci-Nya, malahan dia menanggapi dan mengatakan sebagai berikut:
  1. Ahmad Hariadi menolak ilmu hadis dan tidak mempercayai hadis-hadis shahih.
  2. Pernyataan yang ada dalam tulisan Ahmad Hariadi itu penuh dengan kesalahan yang fatal.
  3. Hadis-hadis yang diamalkan oleh Ahmad Hariadi hanyalah hadis-hadis yang sesuai dengan Alquran menurut akalnya sendiri walaupun hadis-hadis itu dhaif.
  4. Hadis-hadis sahih, kalau kenyataanya menurut akalnya Ahmad Hariadi bertentangan dengan Alquran, maka  dia tidak mau menggunakannya.
  5. Ahmad Hariadi meragukan kedudukan hadis-hadis shahih disebabkan berkeyakinan bahwa hadis ditulis beberapa abad dan beberapa generasi sesudah Nabi saw wafat.
  6. Ahmad Hariadi belum tuntas belajar hadis dan ilmu hadis.Oleh karenanya akan lebih bijaksana kalau Ahmad Hariadi memperdalam kembali ilmu hadisnya.
  7. Ahmad Hariadi harus menghilangkan terlebih dahulu praduga-praduga yang tidak berdasar. Karena praduga itu tidak bisa disejajarkan dengan ilmu yang sudah teruji berabad-abad lamanya.
  8. Meyakini bahwa hadits baru ditulis satu abad sesudah Nabi saw meninggal dunia, adalah sebuah kesalahan fatal. Jika yang dimaksud adalah kodifikasi hadits dalam kitab semisal Shahih al-Bukhari, Musnad Ahmad, dan sebagainya, maka itu bisa dibenarkan. Tapi jauh sebelum itu, hadits juga sudah di-tadwin (dihimpun dalam satu tulisan) oleh para shahabat dan tabi’in.
  9. Berkaitan dengan kritik rawi, tentunya tidak seperti yang digambarkan Ahmad Hariadi di atas. Di mana menurutnya selang waktu seratus sampai seribu tahun menyebabkannya berasumsi tidak mungkin identitas seorang perawi diketahui. Karena pada faktanya, kritik rawi dan periwayatan – atau dikenal dengan system isnad/sanad – sudah dilakukan dari sejak zaman awal Islam.
  10. Dalam jalur lain Ibn al-Mubarak mengatakan: Isnad itu termasuk agama, karena kalau tidak ada isnad pastilah orang-orang akan berkata seenaknya saja. (Shahih Muslim no.32)
  11. Dalam kajiannya terkait sistem isnad, al-A’zhami memberikan beberapa kesimpulan, di antaranya:
(8) Tidak ada alasan yang dapat diterima untuk menolak sanad. Justru penelitian menegaskan bahwa metode sanad itu mengandung unsur-unsur keaslian dan keotentikan (otentisitas), di mana secara umum sanad harus diterima. (9) Ahli-ahli hadits telah melakukan upaya maksimal untuk mengoreksi dan mengritik matan dan sanad hadits. Mereka melakukannya dengan penuh keberanian dan keikhlasan. (10) Kitab-kitab hadits sampai sekarang ini juga selalu siap untuk diperiksa, diteliti dan dikoreksi, sepanjang hal itu memenuhi kriteria-kriteria ilmiah dan objektifitas, bukan atas dasar ketidaktahuan dan kebencian. (Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hlm.583).
  1. Dari profil karya terjemahan al-Qur’an Ahmad Hariadi tersebut, kejanggalan sudah dapat ditemukan, yakni: Terjemahan Perkata dengan Nahwu-Sorof dan Tafsir Bebas Kontemporer Lintas Asbaabul-Nuzuul. Profil dari karya tersebut menyisakan sebuah pertanyaan serius, apa yang dimaksud dengan “Tafsir Bebas Kontemporer” dan apa yang dimaksud dengan “Lintas Asbaabul-Nuzuul”?
  2. Bukankah karya tafsir Ahmad Hariadi itu menunjukkan bahwa dia tidak memahami metodologi penafsiran yang sudah teruji secara ilmiah sehingga memerlukan adanya tafsir yang bebas dan lepas dari metodologi yang sudah ada? Dan memangnya apa itu asbabun-nuzul, sehingga perlu mengembel-embelinya dengan kata “lintas”? Memang benar terdapat riwayat asbabun-nuzul yang berbeda-beda untuk satu ayat, akan tetapi itu tidak berlaku untuk semua ayat. Dan hal tersebut tidak serta merta menjadikan penafsiran “warna-warni” sebagaimana sering dikampanyekan oleh kalangan Liberal dewasa ini.
  3. Mengenai profil “Terjemahan Perkata dengan Nahwu-Sorof”, para peserta Daurah Du’at sempat terperanjat ketika Ahmad Hariadi  kebingungan dalam menashrifkan kata du’at, sampai harus meminta jawaban dari Ustadz Aceng Zakaria dan para peserta. Tentu ini menjadi sebuah kejanggalan, karena bagaimana mungkin ia berani menerjemahkan al-Qur`an dengan nahwu-sharaf, sementara untuk menashrifkan kata du’at saja cukup kebingungan.
  4. Kejanggalan lainnya, Ahmad Hariadi menerjemahkan ayat berikut dengan cukup aneh:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (   )
    Hendaklah Engkau menunjuki (pada) kami (kepada) tuntunan yang minta pengukuhan/kukuh.
Di catatan kaki, Ahmad Hariadi menuliskan:
    Kata al-mustaqim berasal dari kata qama-yaqumu, dia dari aslinya mendapat tambahan alif, sin, dan ta (di teks asli, kata yang bergaris miring ditulis dengan huruf Arab – red), oleh karena itu dia diartikan dengan, “minta pengukuhan/kukuh.” Dan yang dimaksud dengan “tuntunan yang minta pengukuhan/kukuh” adalah “Alquran itu sendiri”. Hal ini dijelaskan di dalam surat 6 ayat 153. Jadi Alquran adalah minta pengukuhan dari kita/manusia, supaya kita mengukuhkannya sebagai “satu-satunya tuntunan hidup”. Dalam doa tersebut, kita minta ditunjuki oleh Allah agar di dalam menghadapi setiap persoalan apa pun bentuknya, kita dapat bersikap dan berbuat sesuai dengan petunjuk Allah yang ada dalam Alquran (Yassarnal-Qur`an, hlm.2).
    Penerjemahan dan penafsiran di atas tentu janggal. Dalam bahasa Arab, tidak semua kata yang diberi imbuhan alif, sin, ta, bermakna “minta”. Termasuk kata istiqamah/mustaqim di atas. Apakah seseorang yang istiqamah akan dimaknakan “minta pengukuhan”? Kalau begitu orang tersebut belum istiqamah/teguh pendirian....
  1. Karya Ahmad Hariadi, Terjemah/Tafsir Yassarnal-Qur`an itu modelnya mirip dengan Alquran terjemahan karya Nazwar Syamsu, seorang da’i inkarussunnah.
  2. Terlebih seperti dikemukakan oleh M. Amin Djamaluddin dalam forum Daurah Du’at PP. Persis, Ahmad Hariadi dalam menulis karya Yassarnal-Qur`an tersebut secara terang-terangan bergandengan tangan dengan Lukman Saad, seorang tokoh Inkarussunnah, Dirut PT. Ghalia Indonesia. Apakah memang Ahmad Hariadi tidak tahu? Ataukah sudah tahu dan memang sependapat dengan paham Inkarussunnah? Buktinya ia bisa menjelaskan profil Lukman Saad sampai dua halaman dalam pendahuluan Yassarnal-Qur’an?




Komentar saya/Ahmad Hariadi terhadap tanggapan-tanggapan itu sesuai dengan nomor-nomor tersebut:
  1. Hal yang dikatakannya yang ada di no.1 itu tidak benar. Penjelasannya secara gamblang dapat dilihat di bagian awal dalam tulisan ini.
  2. Mohon ditunjukkan mana-mana saja kesalahan yang fatal itu! Dan setelah itu, mohon masing-masingnya ditunjukkan di mana letak kesalahannya itu dengan mengemukakan dalil-dalil naqli dan aqli, dan kemudian mohon ditunjukkan bagaimana benarnya.
  3. Di dalam Alquran berulang-ulang Allah memerintahkan agar kita di dalam mempelajari agama ini selalu menggunakan akal sehat kita dan banyak mendengar pendapat orang lain, karena dengan perantaraannya, seseorang akan ditunjuki oleh Allah kepada hal-hal yang benar, (Surat 2 ayat 242, Surat 39 ayat 18, dll.). Bahkan di dalam Surat 67 ayat 10 dikatakan, “Orang yang tidak mau menggunakan akal sehatnya dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain dengan baik akan menjadi penghuni Neraka Sair”.
  4. Komentar saya terhadap tanggapan dari saudaraku yang no.4 itu sama dengan komentar saya yang ada di no.3.
  5. Hal yang dikatakannya yang ada di no.5 itu tidak benar. Penjelasannya secara gamblang dapat dilihat di bagian awal dalam tulisan ini.
  6. Hal itu benar adanya, karena tidak ada penuntut ilmu yang sudah tuntas di dalam mempelajari ilmu-ilmu tertentu, dan masing-masingnya harus memperdalam ilmu-ilmu itu. Kalimat tanggapan dari saudaraku yang di no.6 itu sangat tidak ilmiah dan tidak etis untuk ditujukan kepada seseorang tertentu. Karena ucapan yang seperti itu bisa saja diucapkan oleh siapa pun, termasuk oleh orang yang tidak berpendidikan lagi tidak santun di dalam arena debat kusir.
  7. Tolong sebutkan praduga-praduga saya yang tidak berdasar itu. Di dalam tulisan saya itu, praduga-praduga saya selalu didasarkan pada dasar/dalil naqli dan aqli. Dalil-dalil saya itulah yang harus ditanggapi oleh saudaraku dengan dalil-dalil naqli dan aqli pula!
  8. Tanggapan dari saudaraku yang no.8 ini, saya jawab dengan ucapan A. Hassan selaku pendiri PERSIS yang berbunyi: “Kita mesti ingat, bahwa Qur’an itu pokok yang utama bagi kita, dan sampainya kepada kita dengan mutawatir atas jalan hafalan dan tulisan. Adapun Hadits-hadits Nabi itu, umumnya ditulis orang sesudah lebih dari satu abad atau hampir dua abad Hijriyah. Sebelum itu, semuanya disimpan dalam hafalan orang sahaja, dan juga Hadits-hadits hadiah pahala itu (yang ada dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim – pen.), sampainya kepada kita tidak mutawatir, maupun dengan hafalan atau dengan tulisan, hanya yang demikian itu riwayat aahaad, ya’ni riwayat satu-satu orang yang tidak patut kita terima dan kita ubah arti ayat Qur’an yang dengan terang-terang menolak adanya hadits pahala dari seorang kepada seorang, maupun di waktu masih hidupnya atau sesudah matinya”, (buku Soal-Jawab A. Hassan jilid 4 hlm. 1506).
Mohon pernyataan A. Hassan, orang nomor satu di PERSIS itu dijadikan bahan masukan bagi saudaraku yang tercinta, mudah-mudahan untuk selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan di dalam hendak memutuskan sesuatu. Amin!
  1. Dalam tanggapannya di no.9, saudaraku tercinta mengatakan, “Karena pada faktanya, kritik rawi dan periwayatan – atau dikenal dengan system isnad/sanad – sudah dilakukan dari sejak zaman awal Islam”. Pernyataan saudaraku ini mohon diperjelas awal Islam itu kapan mulainya? Dan mohon dibandingkan dengan ucapan pendiri PERSIS yang ada di no.8 di atas!
  2. Di dalam tanggapannya no.10, saudaraku itu membawa perkataan Ibnu Mubarak yang mengatakan, “Isnad itu termasuk agama, karena kalau tidak ada isnad pastilah orang-orang akan berkata seenaknya saja. (Shahih Muslim no.32)”.
Kalimat itu bukan hadis Nabi saw. Pernyataan Ibnu Mubarak inilah yang sering dipakai oleh orang-orang LDII/ISLAM JAMAAH untuk menetapkan bahwa “mengaji Quran dan hadis itu harus melalui manqul (melalui sanad-sanad atau rawi-rawi yang ada pada Islam Jamaah melalui pendirinya, Haji Nur Hasan Al-Ubaidah Lubis)”. Sehingga para pengikut Islam Jamaah kalau mengaji hadis, mereka akan mengatakan dengan kalimat:
حَدَّثَنَآ اِمَامْ حَاجِ نُورْ حَسَنْ\اَلْعُبَيْدَهْ لُوبِيْس عَنِ الشَّيْخِ عُمَرَحَمْدَانَ
الْمَكِّى ...
Yang artinya: Imam haji Nur Hasan Al-Ubaidah Lubis telah menceritakan hadis kepadaku, di mana dia mendapatkan hadis itu dari Syeikh Umar Hamdan Al-Makki ... dan seterusnya ... dan seterusnya sampai ada rawi atau sanad yang berjumlah 15 orang sampai kepada Imam Nasa’i kalau yang dikaji itu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, dan akan sampai kepada Bukhari dan Muslim kalau yang dikaji itu hadis yang diriwayatkan oleh keduanya ... dan begitulah seterusnya.
Jadi dari situ kita dapat mengambil pelajaran bahwa “rawi-rawi yang meriwayatkan hadis itu bisa saja diada-adakan untuk kepentingan tertentu, padahal yang sebenarnya rawi-rawi tadi tidak meriwayatkannya atau nama rawi-rawi tadi dimanfaatkan bahwa para perawi itu menyampaikan hadis ini dan hadis itu, padahal yang sebenarnya mereka tidak pernah meriwayatkan atau menyampaikan hadis-hadis itu. Dan hal ini sangat mungkin terjadi, baik oleh para perawi sebelum hadis dibukukan ataupun sesudah hadis dibukukan (yang terakhir ini contohnya para perawi yang dimiliki oleh Islam Jamaah di atas). Dan hal yang seperti itulah ujung-ujungnya nama Rasulullah saw. dicatut dengan dusta dengan mengatakan, “Rasulullah saw. mengatakan ini dan itu, melakukan ini dan itu, dan menetapkan ini dan itu”. Terhadap orang yang melakukan dusta atas nama Rasulullah saw. seperti itu akan diancam dengan ancaman yang sangat keras sebagaimana sabda beliau saw. yang berbunyi, “Barang siapa yang mengada-adakan dusta atas namaku (membikin-bikin hadis diatasnamakan Rasulullah saw. – pen), maka hendaklah dia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya dari api/akan sengsara” (hadis Mutaawatir Lafdhi).
11. Marilah kita uji apa-apa yang dikemukakan oleh saudaraku tercinta dalam tanggapannya di no.11:
Contoh rangkaian isnad/rawi-rawi yang ada dalam hadis Sahih Bukhari dan Sahih Muslim: 
Nabi Muhammad

  1. Khudaifah bin Al-Yaman
  2. Abu Idris Al-Khoulani
  3. Busr bin Ubaidillah Al-Hadlromi
  4. Ibnu Jabir
  5. Al-Walid bin Muslim
  6. Muhammad bin Al-Mutsanna
  7. Bukhari 

          Nabi Muhammad

  1. Abdullah
  2. Masruq
  3. Abdullah bin Murroh
  4. Al-A’masy
  5. Hafsh bin Ghiyab dan ...
  6. Abu Bakar bin Abi Syaibah
  7. Muslim



Rangkaian isnad/rawi-rawi itu diadakan oleh Bukhari dan Muslim sekitar 200 tahun setelah Nabi saw. wafat, karena Imam Bukhari wafat tahun 256 H./870 M. dan Imam Muslim wafat tahun 261 H./875 M. Oleh karena itu, apakah yang menjadi bukti kongkret dalam rangkaian rawi-rawi itu, bahwa: rawi yang no.1 itu menjadi sumber berita pertama dari rawi yang no.2 s/d. no.7, yang lantas sumber berita yang pertama itu menceritakan hadis Nabi saw. Jadi di situ bukti kongkret tidak ada, paling banter orang yang mempertahankan hadis yang diberitakannya itu  mengatakan, “Sumber berita yang pertama itu kan ada nama sahabat Nabi saw, dan ucapan-ucapan lain yang diada-adakan dan dipaksa-paksakan ”. Padahal di dalam rangkaian rawi-rawi itu bisa saja terjadi salah satu orang rawi atau dua tiga orang rawi tidak pernah menceritakan hadis tersebut kepada rawi yang lain, hanya nama-nama mereka saja yang dipakai atau dicatut dengan dusta oleh rawi yang lain demi untuk mendapatkan jastifikasi/pembenaran melalui nama-nama mereka yang sudah terkenal di waktu itu... dan lain-lain. Pengatasnamaan dusta yang seperti itu sangat mungkin bisa terjadi sebagaimana sangat mungkin bisa terjadinya terhadap nama Rasulullah saw.(sebagaimana yang ada dalam Hadis Mutawatir lafdhi tersebut di atas).
Adapun matan/isi dari hadis yang konon disabdakan oleh Nabi saw. yang ada dalam hadis Sahih Bukhari tersebut di atas sangat panjang sekali, yang intinya: ... kalau dalam suatu masyarakat sudah terjadi krisis moral dan krisis sosial, sedangkan di dalam masyarakat itu tidak ada Jamaah dan tidak ada Imam kaum Muslimin, maka kaum Muslimin diminta dengan sangat untuk memisahkan diri dari masyarakat yang ada walaupun mereka harus bersusah payah sampai harus makan akar-akar pepohonan (pergi ke hutan – pen).
Kalau mereka menganggap hadis tersebut benar-benar sabda Nabi saw., tolong dong amalkan hadis tersebut! Sedangkan saya/Ahmad Hariadi berkeyakinan hadis tersebut adalah “hadis-hadisan alias bukan sabda Nabi saw.” karena memang bertentangan dengan puluhan ayat-ayat Alquran, yang di antaranya Alquran menyuruh kaum Muslimin agar senantiasa amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat, mengajak umat manusia ke jalan Allah dengan cara yang bijaksana, berusaha dengan sungguh-sungguh alias berjihad menyampaikan visi dan misi Alquran ke tengah-tengah masyarakat, dan selalu menyampaikan peringatan Tuhan kepada manusia sehingga tidak ada satu orang pun yang terjerumus karena tingkah lakunya yang menyimpang, dan lain-lain.
Sedangkan matan/isi dari hadis yang konon disabdakan oleh Nabi saw. yang ada dalam hadis Sahih Muslim tersebut di atas, intinya sebagai berikut: seseorang Muslim yang beristeri/bersuami yang melakukan perzinaan itu halal darahnya (boleh dibunuh), begitu juga halal darahnya seseorang Muslim yang murtad (meninggalkan agama Islam) ....
Hadis tersebut juga bukan sabda Nabi saw. alias hadis-hadisan, karena memang bertentangan dengan Alquran dalam surat 24 ayat 2, surat 5 ayat 54, dan lain-lain. Adapun hadis tentang hukum rajam sampai mati terhadap seseorang yang beristeri/bersuami yang berzina itu juga hadis-hadisan. Hukum rajam tersebut diadopsi dari hukum yang ada pada kitab Tauroh, dan hukum rajam itu sudah dimansukh oleh hukum Alquran yang ada di surat 24 ayat 2.   
12.    Terhadap pertanyaan dari saudaraku yang ada dalam tanggapannya di no.12 itu, jawabannya sebenarnya sudah ada di Pendahuluan dari Terjemah/Tafsir Yassarnal-Qur`an. Mohon dilihat kembali di halaman xii s/d. xxi!
13.    Komentar saya terhadap tanggapan saudaraku yang ada di no.13 itu adalah: mohon ditunjukkan oleh saudaraku poin-poin penafsiran mana dari tafsir saya itu yang keliru atau salah karena tidak menggunakan metodologi penafsiran yang sudah teruji secara ilmiah itu. Kemudian setelahnya itu, saudaraku hendaklah membantahnya dengan menggunakan metodologi penafsiran yang dianggap oleh saudaraku sudah mapan itu. Menurut saudaraku dengan menggunakan metodologi penafsiran yang sudah teruji secara ilmiah itu akan terwujud tafsir yang satu macam/satu corak saja alias tidak warna-warni. Dalam hal tersebut, hendaklah saudaraku memahami bahwa tafsir Alquran yang sudah dihasilkan dan beredar di tengah-tengah masyarakat itu memang berwarna-warni coraknya, dan berbeda-beda. Hal itu suatu keniscayaan karena memang latar belakang dalam berbagai hal dari para penulis tafsir itu berbeda-beda. Tetapi perbedaan-perbedaan itu saling melengkapi satu sama lain karena memang Allah Yang Maha Rahman itu adalah “Robbul-‘aalamiin/ Robbnya berbagai dunia pemikiran, pemahaman, penafsiran, dan lain-lain.” Baiklah sebagai contoh, di sini disebutkan berbagai kitab tafsir Alquran dengan berbagai macam coraknya yang sudah dihasilkan dan beredar di tengah-tengah masyarakat:
1.     Ada kitab Tafsir bil-ma`tsuur, seperti kitab Tafsir Al-Qur`anul ‘Adhiim karangan Ibnu Katsir, kitab Tafsir Ad-durru al-mantsuur fit-tafsiiri bil-ma`tsuur karangan Jalaluddin As-Suyuti, Kitab Tafsir ma’aalimut-tanziil karangan Al-Baghowi, dan lain-lain.
2.    Kitab Tafsir bir-Ro`yi, seperti kitab Tafsir Mafaatihul-Ghaib karangan Muhammad bin Umar Al-Husain Ar-Rozii, kitab Tafsir Anwaarut-tanziil wa Asroorut-ta`wiil karangan Abdulah bin Umar Al-Baidhowi, kitab Tafsir Al-Bakhrul Muhiith karangan Muhammad bin Yusuf bin Hayan Al-Andalusi, dan lain-lain.
3.    Kitab Tafsir yang bercorak modern, seperti kitab Tafsir Al-Qur`anil-Hakiim/Tafsir Al-Manaar karangan Muhammad Rasyid Ridha, kitab Tafsir Al-Maroghi karangan Ahmad Musthofa Al-Maroghi, kitab Tafsir fii dhilaalil-Qur`an karangan Syayid Qutub, kitab Tafsir Adlwaa`ul Bayaan (Tafsir modern bercorak tafsir ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain) karangan Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar An Syanqithi, dan lain-lain.
Di samping itu ada kitab-kitab tafsir yang coraknya hanya memuat berbagai hukum/ahkam, dan ada juga banyak kitab tafsir yang coraknya tidak seperti yang tersebut di atas, belum lagi kitab-kitab tafsir dari kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah.
Dari berbagai macam corak kitab tafsir tersebut di atas, banyak penafsiran yang berbeda-beda terhadap sesuatu ayat tertentu walaupun di dalam kitab-kitab tafsir yang coraknya sama, apalagi yang coraknya berbeda. Tetapi perbedaan-perbedaan  itu masih dalam rangka saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain, yang hal mana menunjukkan betapa luasnya penafsiran ayat-ayat Alquran itu, (surat 18 ayat 109).
Dari semuanya itu, kalau saudaraku yang tercinta itu mengharapkan hanya adanya satu corak tafsir alias tidak warna-warni, maka hal itu sesuatu yang tidak mungkin/mustahil, karena akhirnya akan menjadikan Allah Yang Maha Rahman itu bukan Robbul-‘aalamiin/Robbnya berbagai alam, tetapi sebagai “Robbul-‘aalam/Robbnya satu alam saja” (na’uudzu billaahi-min dzaalik).
14.    Pernyataan dari saudaraku yang ada di No. 14 itu sungguh menjadikan saya tertawa dan keheran-heranan, karena saudaraku itu menyimpulkan dengan kesimpulan yang salah terhadap apa-apa yang saya sampaikan dalam soal kata Du’at kepada para peserta Daurah. Padahal saya menyampaikan hal itu bersifat melemparkan masalah atau bertanya, seperti seorang guru bertanya kepada murid. Di situ bukan berarti saya tidak bisa menashrif kata jamak Du’at itu berasal dari kata tunggal apa, di situ saya hanya ingin agar para peserta Daurah itu dapat memahami dengan baik, bahwa kata jamak Du’at itu bisa berasal dari kata tunggal daa’in yang berbentuk isim fa’il yang artinya orang yang berdakwah, dan bisa juga bahkan yang lebih tepat kata Du’at itu berasal dari Shighoh Mubaalaghoh daa’iyatun yang artinya juru dakwah/pendakwah. Dan kata daa’iyatun yang bershighoh Mubaalaghoh itu bisa untuk laki-laki dan perempuan, karena memang di situ para peserta Daurahnya terdiri dari juru dakwah laki-laki dan perempuan.
        Jadi kejadian yang seperti itu, yakni menyimpulkan ucapan seseorang dengan kesimpulan yang salah itu dapat terjadi pada siapa pun, baik orang itu orang yang jujur, ataupun yang kurang jujur, ataupun lagi yang selalu tidak mau jujur. Dari kejadian itu, kita dapat mengambil pelajaran penting, bahwa masing-masing perawi hadis yang ada dalam rangkaian sanad hadis itu juga bisa menyimpulkan ucapan rawi yang lain dengan kesimpulan yang salah dan bisa juga salah dengar. Maka dari itu Siti Aisyah pernah mengatakan, bahwa pendengaran seseorang itu bisa melakukan kesalahan walaupun dia seorang sahabat Nabi saw, seperti Umar dan Abdullah bin Umar, (lihat buku Soal-Jawab A. Hassan, jilid 4 hlm. 1504).
  1. Dalam bahasa Arab, kata kerja atau fi’il yang mendapat tambahan huruf alif, sin, dan ta` itu asal-asalnya artinya mendapat tambahan kata “minta”. Karena ingin praktis dan mudah, maka kata “minta” itu sering dibuang. Padahal yang sebenarnya di situ ada falsafahnya atau ulasannya yang lebih dalam, contoh: Banyak orang mengaku Islam dan sering mengatakan, bahwa Kitab Sucinya adalah Alquran, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pola pikir dan tingkah lakunya banyak yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Alquran. Hal itu terjadi karena mereka secara hakiki tidak mengukuhkan Alquran sebagai satu-satunya petunjuk hidupnya. Padahal pengukuhan itulah yang sering-sering diminta oleh Alquran. Jika pengukuhan secara hakiki terhadap Alquran itu ada, maka pada waktu itu seseorang akan rela untuk dibimbing oleh Alquran di dalam menjalani kehidupannya. Dengan ulasan yang sangat sederhana itu, mudah-mudahan saudaraku yang tercinta dari PERSIS itu dapat memahami dengan baik sehingga tidak mudah menyalahkan sesuatu hal sebelum merenungkannya lebih dahulu. Kalau toh umpamanya saudaraku itu masih tetap tidak mau menerima kata “Al-mustaqiim” itu diterjemahkan dengan “minta pengukuhan”, maka mohon ditunjukkan oleh saudaraku dua kata “minta pengukuhan” itu bahasa Arabnya apa? Dan lagi orang yang istiqomah itu baru bisa istiqomah secara benar dan berkelanjutan apabila dia di dalam menghadapi berbagai cobaan hidup itu senantiasa minta kepada dirinya agar senantiasa pola pikir dan tingkah lakunya tetap kukuh di atas ketetapan-ketetapan Ilahi.
         Baiklah di sini ditambahkan satu contoh lagi untuk membantu memudahkan pemahaman, yakni kata “mustasyfaa”, kata ini artinya adalah “tempat yang dimintai kesembuhan” karena dia berasal dari kata kerja/fi’il “syafaa-yasyfii-syifaa`an” yang ditambah di depannya huruf alif, sin, dan ta`. Dan kata “mustasyfaa” itu adalah “kata benda yang menunjuk pada makna tempat/isim makan” berasal dari kata kerja/fi’il “istasyfaa-yastasyfii-istisyfaa`an”. Kata “mustasyfaa” itu biasa disebut “rumah sakit”. Karena kata rumah sakit itu bahasa Arabnya adalah “mustasyfaa”, maka falsafahnya atau ulasannya adalah: yang namanya rumah sakit/mustasyfaa itu mempunyai fungsi utama untuk menyembuhkan orang yang sakit, dari situ jelaslah yang namanya rumah sakit/mustasyfaa itu dituntut agar  berkualitas, lengkap fasilitas, tenaga medis yang berkapasitas dengan dilengkapi obat-obatan yang lengkap lagi siap, dan lain-lain. Yang dengan itu semua, fungsi utama rumah sakit/mustasyfaa dapat dilaksanakan sesuai dengan asal namanya, yakni “tempat yang dimintai kesembuhan”. Ini hanyalah sekedar contoh untuk memudahkan memahami dan mengulas kata-kata Arab yang ada dalam Alquran yang mendapat tambahan huruf alif, sin, dan ta`.   
  1. Saudaraku dari PERSIS itu mengatakan, Karya Ahmad Hariadi, Terjemah/Tafsir Yassarnal-Qur`an itu modelnya mirip dengan Alquran terjemahan karya Nazwar Syamsu, seorang da’i inkarussunnah.
Pernyataan saudaraku itu sungguh tidak benar, karena dua terjemahan Aquran itu sungguh sangat jauh berbeda karena berbedanya berbagai latar belakang penulisnya. Nampaknya saudaraku belum pernah membaca terjemahan Alquran Karya Nazwar Syamsu, seorang da’i inkarussunnah itu. Dia mengatakan begitu karena adanya kabar burung yang mengatakan seperti itu. Dan dalam Islam dibenci dan dilarang menerima kabar burung (qiila wa qoola) tanpa mengecek lebih dahulu.
Oleh karena itu, saya memohon kepada saudaraku yang tercinta agar mau mengecek lebih dahulu terhadap terjemahan Alquran Karya Nazwar Syamsu itu, dan setelahnya itu membandingkannya dengan Terje-mahan/Tafsir Yassarnal-Quran yang saya tulis. Dan setelahnya itu, saudaraku baru dapat menyimpulkan dengan kesimpulan yang benar, (amin!) Kalau saudaraku tidak punya terjemahan Alquran Karya Nazwar Syamsu itu, silahkan datang ke Ahmad Hariadi untuk mengcopinya.      
  1. Untuk menjawab pernyataan dan pertanyaan dari saudaraku yang ada di no. 17 itu sebenarnya jawabannya sudah ada di riwayat hidup Lukman Saad yang ada di halaman ix, (nampaknya saudaraku kurang teliti di dalam membacanya).
    Alangkah baiknya kalau saudaraku itu memahami karakter Ahmad Hariadi di dalam pergaulannya dengan berbagai kalangan masyarakat yang berbeda-beda, terutama kalangan masyarakat muslim. Ahmad Hariadi mempunyai prinsip seperti yang dianjurkan oleh Alquran, bebas bergaul dengan siapa saja dalam rangka mencari ilmu dan menyampaikan kebenaran. Karena dengan perantaraan itulah seseorang akan menemukan kebenaran/alhak dan menemukan kesalahan/albatil yang ada di kalangan masyarakat, baik dari kelompok masyarakat yang radikal, ekstrem, moderat, liberal, dan lain-lain. Baru setelahnya itu, sesuatu yang benar/alhak menurut Alquran wajib diambil dan diikuti, dan sesuatu yang salah/albatil menurut Alquran wajib dibuang dan dijauhi. Karena kebenaran/alhak itu ada di mana-mana, begitu pula kesalahan/albatil, tidak ada seorang pun dan kelompok mana pun yang mutlak benar dan mutlak salah pendapat-pendapatnya. Dan kebenaran/alhak itu pasti dapat menga-lahkan dan mengusir kesalahan/albatil yang ada dalam benak seseorang, asalkan seseorang tersebut bersikap jujur, (surat 17 ayat 81, surat 21 ayat 18, surat 36 ayat 7 s/d. ayat 11, dan lain-lain).
    Jadi jangan heran kalau Ahmad Hariadi bergaul sangat mesra dengan berbagai kalangan masyarakat muslim dan non muslim yang berbeda-beda itu, alias Ahmad Hariadi ada di mana-mana kelompok masyarakat dan juga tidak ada di mana-mana kelompok masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam biografi dan pengembaraan Ahmad Hariadi dalam kitab terjemah/tafsir Yassarnal-Qur`an!
    Mudah-mudahan saling menanggapi terhadap sesuatu tulisan seperti itu dapat berlanjut dan membudaya di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat muslim! Karena dengan perantaraanya, ilmu seseorang akan bertambah, dan akhirnya akan bertambah pula kebenaran dan kesalahan yang dapat diketahuinya, dan akhir bin akhirnya “yang benar/alhak diambil dan diikuti, dan yang salah/albatil dibuang dan dijauhi”. Marilah kita sama-sama berdoa:
Alloohumma arinal-haqqo haqqon warzuqnaa ittibaa’ahu, wa arinal-baathila baathilan warzuqnaa ijtinaabahu ... robbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanatan wa fil aakhiroti hasanatan wa qinaa adzaaban-naar. Amin!



NB:    Tanggapan saya itu agak sedikit terlambat karena memang saya tidak dikirimi majalah Risalah yang memuat hal tersebut, (semestinya majalah Risalah itu dikirimkan kepada saya, karena saya punya hak jawab/tang-gapan/menjelaskan). Setelah saya tahu dari teman di Bandung tentang majalah Risalah yang memuat hal tersebut, baru saya mencarinya di pesantren-pesantren PERSIS, termasuk pesantren PERSIS yang ada di Bentar-Garut. Di pesantren PERSIS Bentar ini pun, saya tidak mendapatkannya, mereka mengatakan, “pesantren PERSIS Bentar sudah tidak berlangganan lagi karena masalah keuangannya tidak lancar”. Setelah cari sana cari sini, akhirnya saya mendapatkan majalah Risalah itu dari seseorang PERSIS yang mengajar di pesantren Rancabogo-Garut. Setelah saya baca dengan teliti, baru pada tanggal 16 Desember 2008, saya mendatangi teman tercinta, yakni Ustadz Aceng Zakaria di pesantren PERSIS Rancabango-Garut, yang mana beliau itu sebagai anggota Dewan Redaksi dari majalah Risalah tersebut. Dan pada waktu itu beliau mengatakan ke saya, bahwa beliau belum tahu tentang judul Virus Inkarussunnah dari Ahmad Hariadi yang ada di majalah tersebut. Sehingga pada waktu itu saya pun bertanya kepada beliau, bukankah Ustadz Aceng terdaftar di majalah tersebut sebagai anggota Dewan Redaksi dan Redaktur Kehormatan dari majalah Risalah itu? Kemudian saya tanyakan lagi kepada beliau, “apakah setiap judul yang akan dimuat dalam majalah Risalah itu tidak dirapatkan/dimusyawarahkan lebih dahulu oleh Dewan Redaksi?” Beliau pada waktu itu menjawab, “saya tidak tahu tentang judul yang menyangkut nama Ustadz Ahmad Hariadi, dan setiap judul yang akan dimuatnya itu juga tidak dimusyawarahkan terlebih dahulu oleh Dewan Redaksi”. Hal itu sangat disayangkan, apalagi majalah tersebut adalah merupakan corong dari suara PERSIS.
Dan setelahnya itu, baru saya menanggapinya dengan cukup hati-hati agar tidak menyinggung perasaan teman-teman tercinta di PERSIS. Dan tanggapan-tanggapan saya itu selesai saya tulis pada akhir Desember 2008, dan akhirnya pada awal Januari 2009 setelah liburan panjang, saya kirimkan tanggapan saya yang agak panjang itu ke Redaksi majalah Risalah melalui Ustadz Aceng Zakaria selaku anggota Dewan Redaksi dan Redaktur Kehormatan dari Majalah tersebut. Pengiriman melalui beliau itu dengan harapan “agar dapat dimuat, sehingga dapat seimbang/balans antara dua tulisan, dan yang akan menjadi hakimnya adalah para pembaca itu sendiri, karena memang para pembaca yang merdeka lagi adil itulah yang akan dapat menghakiminya dengan adil”. Sekali lagi mohon maaf atas keterlambatannya itu, keterlambatan yang tidak disengaja.








AHMAD HARIADI
HP. 081 281 256 95 - 0877 437 586 36
E-mail: ahmadhariadi1951@yahoo.com





1 komentar: